Jika antropologi modern lahir di tangan ilmuan Barat, terutama kalangan missionaris dan pegawai administrasi kolonial, itu tidak berarti bahwa antropologi adalah karya mutlak ilmuan Barat. Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan Islamlah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn Khaldun, al Biruni, Ibn Bathuthah, al Mas'udi, al Idrisi, Ibnu Zubair serta Raghib al Ashfahani yang menulis kitab Tafshil 'n Nasyatain wa Tahshil 's Sa'adatain. Pada era modern ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis, seperti Dr. Bintu Syathi, 'Abbas Mahmud al 'Aqqad, Dr. Aminah Nushair, Abdul Mun'im Allam, Muhammad Khadar, Dr. Zaki Isma'il, Dr. Akbar S. Ahmad, Kurshid Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul Wafa at-taftazani, Al 'Ajami dan ilmuan lainnya 22.
Karya Ibn Khaldun, dengan teori-teori dan materi ilmiahnya, telah mendahului dan mengungguli karya-karya ilmuan Barat seperti Karl Mark, Max Weber, Vilfredo Pareto, Ernest Gellner dan ilmuan Barat lainnya.Teori pendulum swing Gellner, tipologi kepemimpinan (typologi of leadership) yang ditulis Weber, serta teori Pareto tentang sirkulasi kepemimpinan (circulation of elites) dalam masyarakat Islam, semua itu tak lebih dari modifikasi atas teori-teori dan pemikiran yang telah digagas oleh Ibn Khaldun. Meskipun amat disayangkan, usaha Ibn Khaldun tersebut tidak dilanjutkan oleh ilmuan pasca Ibn Khaldun.
Menurut Akbar S. Ahmad, dari sekian ilmuan Islam yang telah mencurahkan pemikiran mereka dalam bidang antropologi tersebut, al Biruni berhak menyandang gelar Bapak antropologi. Tentang alasan pemilihan al Biruni sebagai Bapak antropologi dijelaskan dengan terperinci oleh Akbar S. Ahmad dalam tulisannya: Al-Biruni: The First Anthropologist 23. Al Biruni, menurut Akbar lagi, adalah ilmuan antropologi sejati dengan ukuran karakteristik yang paling tinggi sekalipun. Dan buku yang ditulis al Biruni tentang India yang berjudul Kitab Al Hind, terus menjadi salah satu referensi yang paling penting tentang Asia Selatan. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, adalah ilmu-ilmu yang lahir di tangan ilmuan muslim sekitar seribu tahun sebelum ilmuan Barat mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka ketika umat Islam kembali mempelajari ilmu-ilmu tersebut, yang dilakukannya adalah semacam “menemukan kembali” apa yang sebelumnya dimiliki .
Read More
Tulisan-tulisan para missionaris dan para petualang pada abad ke-18 dan 19, telah menjadi sumber tertulis yang amat penting tentang Afrika, Amerika Utara, daerah lautan tenang dan daerah-daerah lain di seluruh pelosok dunia. Materi-materi tertulis tersebut kemudian menjadi bahan dasar bagi karya-karya tulis pertama dalam ilmu antropologi di Barat pada paruh terakhir abad 19.
Sebelumnya, kajian tentang sistem hidup manusia dan sumber-sumber pembentukan sistem tersebut telah dilakukan oleh ilmuan Barat, namun hal itu lebih banya didasari oleh hipotesa-hidpotesa. Demikian juga halnya pada paruh pertama abad 18, ketika Hume, Adam Smith, Ferguson, Montesquieu, Condarcet dan ilmuan lain menulis tentang kelompok manusia primitif. Meskipun tulisan mereka cukup bagus, namun ia tidak dihasilkan dari exprimen dengan variabel-variabel yang dapat diukur, malah lebih banyak dipengaruhi oleh pilsafat yang mereka anut.
Pada penghujung abad 19 materi informasi yang besar tentang berbagai jenis manusia di seluruh dunia telah dapat dikumpulkan. Koleksi Sir James Frazer adalah yang paling terkenal dari sekian koleksi. Koleksinya tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus agama kemudian diterbitkan dalam beberapa seri dengan judul The Golden Bough 13. Materi-materi tersebut kemudian diperkaya oleh kajian-kajian yang terus dilakukan baik oleh missionaris maupun pegawai administrasi di negara-negara jajahan.
Pada permulaan abad 20, ilmuan antropologi lebih banyak mencurahkan perhatian untuk melakukan field research secara langsung tentang kelompok-kelompok manusia. Kecenderungana ini menguat setelah A.C. Haddon melakukan penelitian di Melanesia, Radcliffe Brown melakukan kajian atas masyarakat andaman serta Malinowski mengkaji masyarakat kepulauan Torobrind.
Setidaknya ada dua aliran dalam antropologi yang kemudian banyak mempengaruhi antropologi modern. Aliran pertama adalah aliran Inggris. Dengan memberi perhatin pada kajian tentang hakikat-hakikat, eksprimen, serta deskripsi yang amat teliti tentang objek kajian. Aliran ini dianut oleh banyak ilmuan Jerman dan Amerika. Dan aliran kedua adalah aliran Perancis, yang menggunakan metode holistic analytic intellectualism. 14) Namun demikian, menurut Akbar S. Ahmad, pakar-pakar antropologi sosial tetap saja hanya mencurahkan perhatian mereka pada sisi sosial kehidupan manusia. Atau hubungan antara sesama manusia dalam sebuah lingkungan masyarakat tempat mereka hidup. Sementara dimensi-dimensi lain yang demikian banyak tentang kehidupan sosial dan peradaban, mereka tinggalkan 15.
Seperti disinggung sebelumnya, timbulnya antropologi modern tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme. Ketika Napoleon menjajah Mesir, ia membawa serta sebanyak 150 ahli ilmu pengetahuan, sebagian dari mereka adalah ahli sosiologi dan antropologi. Dari tangan mereka kemudian diawali kajian-kajian antropologis terhadap negara-negara jajahan di Asia, Afrika dan negara-negara sekitar lautan teduh. Bukanlah sebuah kebetulan jika pakar-pakar antropologi Inggris yang paling terkemuka pasca perang dunia I dan II adalah mantan pegawai di negara-negara jajahan Inggris. Seperti Evan Pritchard, Leach dan Nadel. Bahkan yang terakhir, menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat administrasi kolonial dalam penelitian antropologisnya dengan memerintahkan polisi kolonial untuk mengumpulkan penduduk sebagai objek questioner yang ia buat.
Pengaruh pemikiran orientalis terhadap kajian antropologi dalam menatap dunia Timur juga cukup besar. Sehingga tak jarang tatapan yang dihasilkan oleh suatu kajian terhadap masyarakat Timur tampak buram. Dalam buku Orientalism, W.E. Said berkata tentang masyarakat Timur : bangsa Timur adalah bangsa yang tidak logis, mereka terbelakang serta kekanak-kanakan, dan mereka berbeda dengan kita. Sementara bangsa Eropa adalah bangsa yang stabil, bermoral tinggi, matang, dan tidak mempunyai kekurangan 16. Banyak orientalis, dalam melihat Islam, lebih senang menyebutnya sebagai kaumMuhammedanisme. Hal itu tampak pada judul buku H.A.R.Gibb Muhammedanism 17, dan Gustave E. von Grunebaum Muhammadan Festival 18. Dan Oxford Dictionary tetap menggunakan terma ini meskipun telah ditentang oleh umat Islam. Hingga saat ini, pengaruh orientalis terhadap antropologi tak kunjung menurun. Malah orientalis seperti A. J. Arbery, H.A.R. Gibb, Lewis, von Grunebaum dan M. Watt telah turut menyusun konsep-konsep metodologis bagi banyak kajian antropologi 19. Pengaruh ini tampak jelas pada banyak antropolog. M. E. Meeker, misalnya, dalam bukunya Literature and Violence in North Arabia 20 menulis tentang bangsa Arab (Islam): Peradaban Baduwi di bagian Utara Jazirah Arabiyyah mempunyai pemikiran bahwa kekerasan adalah pokok kehidupan politik. Dan dalam melihat keluarga, barang dan hubungan sosial, mereka cenderung melihatnya dalam kerangka yang dibatasi oleh kekerasan. Sikap seperti itu tidak aneh, karena Meeker banyak mengambil materi kajiannya dari Doughty yang amat membenci Islam.Demikian pula P. Jeffrey, ketika mengadakan kajian tentang wanita muslimah di Delhi, memberikan judul buku hasil kajiannya itu Frogs in a Well—kodok-kodok di dalam sumur 21. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah: Apakah Islam tidak mempunyai konsep antropologi, sehingga bisa menjadi alternatif antropologi Barat itu?. Kalaupun ada, apakah hal itu pernah diwujudkan dalam sebuah konsep keilmuan yang utuh?
Read More